Dekade 2010an telah membuka banyak mata bahwa korupsi juga menjadi penyakit kronis di keolahragaan nasional maupun internasional. Banyak pula yang yakin bila olahraga adalah salah satu biang keladi kemerosotan prestasi olahraga bangsa di kancah internasional. Berbagai inisiatif sudah dilakukan demi mewujudkan sistem tata kelola yang baik sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mencegah tindakan korupsi.

Salah satunya, dalam rapat bersama Komisi X DPR RI, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Zainuddin Amali memaparkan bila perbaikan tata kelola menjadi program prioritas utama dalam masa kepemimpinannya. Reformasi tata kelola ini diharapkan dapat menjangkau ke sistem keolahrgaan nasional secara keseluruhan.
Istana pun telah mengeluarkan “titah” untuk percepatan pengembangan olahraga dan bersamaan dengan lensa olahraga yang menyorot tiga pesta olahraga akbar tahun ini, menjadi dorongan yang kuat untuk olahraga Indonesia segera melakukan lompatan perubahan.
Untuk mengawali, Menpora menyatakan bahwa beliau akan memperbaiki proses administrasi pencairan dana persiapan Olimpiade Tokyo mendatang. Hanya saja, rangkaian persyaratan yang mengharuskan federasi cabang olahraga (cabor) untuk mengajukan proposal yang disertai dengan laporan pertanggungjawaban (LPJ) sebenarnya telah menjadi kebijakan dari periode kepemimpinan lalu. Proses yang kemudian ditutup dengan penandatanganan nota kesepahaman di depan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) juga sebenarnya bukan hal baru dalam usaha pembenahan administrasi oleh Kemenpora.
Namun, berkaca pada pengalaman lalu, regulasi administratif tetap saja tidak cukup untuk memastikan dana pembinaan tidak “disunat”. Kemudian, belum selesai urusan di tingkat pusat, di tingkat daerah pun berhembus kabar jika dana pengembangan olahraga juga sempat mampir ke kantor-kantong misterius.
Para pengamat kebijakan olahraga Indonesia kerap menyayangkan pemerintah yang jarang mensosialisasikan indikator-indikator jelas dalam memonitor dan mengevaluasi program-program mereka.
Begitu juga dalam hal pengawasan, pemerintah juga kerap kali bersikap permisif terhadap longgarnya administrasi keuangan pengurus cabor. Salah satu contohnya, alih-alih melakukan transfer uang melalui bank, teknis penyaluran gaji atlet sering dilakukan dengan sistem “amplopan”.
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa pendekatan kebijakan olahraga pemerintah tentang tata kelola masih jauh dari standar tata kelola internasional yang sudah gencar mempromosikan kaidah anti korupsi.
Diskursus Tata Kelola Olahraga Internasional
Sejak tahun 2017, promosi tata kelola yang baik dalam olahraga (good governance in sports) dideklarasikan dalam International Forum on Sport Integrity (IFSI) yang diinisiasi oleh International Olympic Committee (IOC). Salah satu program inisiatif IFSI adalah International Partnership Against Corruption in Sports (IPACS) yang dimana salah satu program kerjanya adalah mendorong terbukanya informasi tata kelola dalam olahraga yang meliputi transparansi keuangan, manajemen resiko konflik kepentingan dan pembatasan periode kepemimpinan dalam organisasi olahraga.
Dalam hal transparansi keuangan, IPACS merekomendasikan semua organisasi olahraga baik di tingkat nasional dan internasional untuk memberikan akses informasi kepada publik mengenai kondisi keuangan mereka. Hal tersebut juga termasuk pelaporan sumber dana organisasi untuk menghindari adanya kasus pencucian uang dalam bentuk sponsorship olahraga.
Kemudian, mengenai manajemen konflik kepentingan, rekomendasi kedua IPACS ini seolah menjadi jawaban dari langit mengenai isu rangkap jabatan para pengurus cabor di Indonesia. IPACS mendorong organisasi olahraga untuk mendokumentasikan dan melaporkan siapa saja anggotanya yang memungkinkan untuk memunculkan konflik kepentingan antar anggota atau antar organisasi. Senada dengan pelaporan transparansi keuangan, publik juga perlu diberikan akses langsung ke daftar nama anggota yang mempunyai resiko konflik kepentingan.
Selain itu, IPACS juga merekomendasikan untuk tidak melibatkan para anggota yang beresiko pada proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan organisasinya. Para pengurus juga dihimbau untuk secara aktif meninjau ulang dokumentasi manajemen konflik ini secara berkala untuk memastikan akuntabilitas informasinya.
Yang terakhir mengenai pembatasan periode kepengurusan organisasi olahraga. Hal ini ditujukan untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan wewenang pada masa jabatannya. Oleh karena itu, para ahli di IPACS sepakat bila pembatasan masa kepengurusan dapat membantu inisiatif pencegahan korupsi.
Dari sini, ketiga area fokus tersebut dapat menjadi landasan awal pemerintah untuk menciptakan iklim kebijakan yang lebih kondusif untuk kegiatan pencegahan korupsi dalam olahraga. Program-program IPACS dapat menjadi referensi bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan reformasi tata kelola yang lebih berintegritas.
Sebenarnya, respon para pemangku kepentingan di sektor olahraga terhadap isu tata kelola ini bisa dikatakan tertinggal dibandingkan sektor nasional lain. Salah satu contohnya adalah sektor ekonomi dan bisnis. Banyak perusahaan dan korporasi yang sudah “fasih” dalam mempraktekkan manajemen tata kelola korporasi (good corporate governance).
Partisipasi Masyarakat Tidak Hanya “Berkeringat”
Di era globalisasi saat ini, partisipasi masyarakat tidak lagi hanya terbatas pada saat pemilu. Dalam konteks membentuk budaya tata kelola bebas korupsi, keterlibatan masyarakat juga menjadi aspek krusial. Masyarakat harus mampu mengawal akuntabilitas para pemangku kebijakan, khususnya di bidang olahraga.
Dengan mendorong demokratisasi di bidang keolahragaan, masyarakat bisa mendapat akses langsung ke dalam data keorganisasian olahraga. Dengan begitu, masyarakat dapat memastikan proses checks and balances berjalan dengan baik. Demokratisasi keolahragaan nasional dipercaya dapat membawa dampak positif terhadap capaian kesuksesan program keolahragaan nasional.
Tentu saja, penerapan paradigma baru ini bukan berarti tidak akan menemui tantangan dalam prakteknya di lapangan nanti. Terdapat beberapa tantangan yang saat ini bisa kita proyeksikan bersama dan menjadi bahan rekomendasi kebijakan pemerintah.
Tantangan tersebut meliputi, pertama, bagaimana pemerintah dan pemangku kepentingan dapat menyesuaikan sudut pandang internasional dengan konteks di Indonesia? Selanjutnya, bagaimana komitmen para pemangku kepentingan untuk segera merumuskan indikator kunci keberhasilan dalam penerapan kaidah tata kelola keolahragaan?
Kemudian, kurangnya sosialisasi mengenai latar belakang dan manfaat prinsip tata kelola keolahragaan bebas korupsi sangat memungkinkan untuk menjadi hambatan untuk segera menerapkan kebijakan tata kelola keolahragaan.
Belum lagi budaya “kagetan” atas perubahan baru masih cukup kuat di konteks bermasyarakat kita, sehingga pemerintah juga perlu untuk merumuskan strategi untuk menanggulangi kemungkinan munculnya resistensi dari para pelaku olahraga saat penerapan paradigma baru ini. Pemberian insentif bagi instansi olahraga yang menunjukkan sikap proaktif terhadap inisiatif kebijakan tata kelola keolahragaan dapat menjadi salah satu solusi kunci dalam menanggulangi kemungkinan resistensi terhadap paradigma keolahragaan baru ini.